Notification

×

Tag Terpopuler

Lestarikan "Ngobeng" Sebagai Budaya Khas Palembang

Tuesday, November 26, 2019 | Tuesday, November 26, 2019 WIB Last Updated 2019-11-26T09:35:48Z

PALEMBANG, SPSudah jarang digunakan oleh masyarakat Palembang, tradisi Ngobeng atau Ngidang kini menjadi tradisi yang perlu dijaga kelestariannya. Sebab, budaya makan bersama yang ada sejak zaman Sultan Mahmud Badaruddin II ini bernilai mempererat persaudaraan.

Sultan Raden Muhammad Fauwaz Diradja, sebagai Sultan Mahmud Badaruddin IV (SMB IV) Jaya Wikrama Fauwaz Diradja mengatakan, Ngobeng menjadi tradisi penuh makna peninggalan leluhur. Ngobeng atau Ngidang merupakan tata cara penyajian makanan saat ada acara sedekahan dan pernikahan.

"Dilakukan secara lesehan dengan membagi setiap hidangan dalam satu wadah yang diporsikan terdiri atas sekitar delapan orang," katanya usai Pembukaan Tradisi Ngobeng/Ngidang dalam rangka peringatan Haul Sultan Mahmud Badaruddin II ke-167, di Museum SMB II, Selasa (26/11/2019).

Hidangan digelar pada selembar kain dengan tempat nasi berupa nampan ditempatkan pada bagian tengah. Dalam tiap hidangan itu terdapat beberapa komponen penting selain nasi minyak yang berada di tengah hidangan.

"Lauknya bermacam, ada rendang, malbi, opor, ayam kecap, kemudian nanas, acar, dan sambal," jelasnya.

Lalu juga disediakan piring dan cangkir, ceret air berserta wadah sisa air bilasan. Dalam penataan makanan ini dilakukan secara silang, yakni iwak / lauk diharuskan berdampingan dengan pulur agar tata krama ketika bersantap benar-benar Islami. Para tamu udangan tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk pauk.

"Ngidang ini berbeda dengan tata cara prasmanan ala prancisan yang terkadang membuat makanan terbuang lantaran tamu undangan mengambil terlalu banyak," katanya.


Memang dalam tradisi ini ada kesan repot karena diperlukan banyak Ngobeng dan peralatan makan. Namun jika ditelisik lebih dalam, maka di sinilah letaknya membangun budaya gotong royong dan kebersamaan di kalangan umat karena umumnya jiron dan tetangga akan bahu membahu membantu empu rumah.

"Ngobeng/Ngidang ini mempererat persaudaraan / silaturahim. Mulai dari menyiapkan hidangan, hingga tata cara makan dengan cara berkumpul mengelilingi makanan dalam satu wadah," katanya.

Tata cara bersantap secara Islami tentunya akan benar-benar terasa dalam tradisi ini. Bagaimana yang muda akan mempersilakan terlebih dulu para orangtua untuk mengambil nasi, sembari menyiapkan piring dan air minumnya.

"Saat bersantap bersama dalam satu hidangan ini sudah barang tentu akan muncul suasana akrab karena anggota keluarga yang jarang berjumpa akan bertegur sapa melepaskan kangen," jelasnya.

Staf Ahli Wali Kota Palembang Bidang Ekonomi Pendapatan Daerah, Hukum dan HAM, Altur Febriyansyah, tradisi ini merupakan warisan budaya leluhur Kota Palembang, dimana tradisi ini memilik makna yang mendalam. Pasalnya kata Altur, tradisi Ngidang dengan cara makan bersama-sama dan lesehan butuh kerjasama.

Sehingga, tradisi Ngidang ini harus dilestarikan. Kegiatan menumbuhkan semangat dan motivasi dalam melestarikan adat istiadat agar tetap tumbuh dan berkembang. "Kita ini kaya akan tradisi, tetapi mulai tergerus zaman. Mudah-mudahan kedepan akan menjadi agenda tahunan. Selain itu, Ngidang juga diharapkan akan menjadi daya tari wisatawan berkunjung ke Palembang," katanya.

Sementara itu Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Zanariah menambahkan, kegiatan ini bertujuan mengangkat dan mengenalkan kebudayaan makan bersama atau lebih dikenal dengan Ngobeng atau Ngidang.

"Ini tupoksi kita dalam menjaga serta meslestarikan tradisi. Insya Allah 2020 kita juga akan mendaftarkan penganan Burgo sebagai makanan khas Kota Palembang dan masih banyak lagi budaya yang harus kita lindungi," katanya. (Ara)
×
Berita Terbaru Update