![]() |
| Ilustras, (foto/net) |
PALEMBANG, SP -
Sejak memasuki pergantian tahun baru hingga minggu ketiga Januari ini, harga
cabai rawit dan cabai merah keriting berangsur naik tinggi dan menjadi polemik
tersendiri bagi sejumlah pelaku bisnis kuliner di Palembang, khususnya yang
menggunakan cabai sebagai bahan utama masakannya.
Berdasarkan pantaun dilapangan, kenaikan harga cabai merah
dan cabai rawit, dipengaruhi faktor curah hujan yang mengganggu produksi cabai
di petani cabai. Di lain pihak, pedagang pasar mengaku, pasokan komoditas cabai
rawit dan cabai merah berkurang dan berimbas pada kenaikan harga. Sebagai
komoditas penting, melambungnya harga cabai rawit dan cabai merah ini tentunya
menuai persoalan, terutama bagi masyarakat yang menjadi konsumen setia cabai.
Bang Fe, salah satu pedagang kuliner di pusat perbelanjaan
Palembang Square (PS) Mal mengatakan, persoalan tingginya harga cabai rawit dan
cabai merah masih menjadi polemik. Saat ini memang, harga cabai cukup mahal
bagi pelaku usaha kuliner seperti dirinya yang menggunakan cabai sebagai bahan
utama.
“Harga jual ke konsumen kita tetap tidak ada kenaikan,
karena kebutuhan sambal nomor satu, hanya saja porsi jualannya agak dikurangi,”
katanya saat dikonfirmasi Sumsel Pers, Kamis (23/1).
Diakuinya pula, hal ini tentu berpengaruh pada omzet
dagangannya, karena kebetulan juga menu kita rata-rata berbahan cabai. Meski
omzet sedikit menurun, tapi konsumen tidak berpengaruh. “Karena, konsumen tidak
tahu menahu mau harga cabai tinggi atau rendah, kami pedagang takut
mengecewakan pelanggan,” tandasnya.
Lain lagi Fahmi, pedagang seblak yang membuka usahanya di
kawasan Bukit Besar Palembang mengatakan, cabai merupakan bahan utama yang
digunakannya dalam membuat seblak. “Emang lagi mahal, makanya saya kurangi
porsi pembelian cabai,” sebutnya.
Ditambahkannya, untuk mensiasati harga cabai yang melambung
ini, dia pun membeli cabai dengan harga terjangkau saja sebagai bahan utama
masakan dagangannya. Meski harga cabai mahal, Fahmi mengklaim, dia tetap tidak
menggunakan cabai bubuk. Sebab, bila menggunakan cabai bubuk, cita rasa sambal
rujak akan berbeda dan pembeli disebutnya belum terbiasa. "Cabai bubuk
nanti rasanya beda, nanti saya dikomplain," katanya.
Sementara Udin, salah seorang pedagang ayam geprek mercon di
kawasan Jalan Sosial, Palembang menyatakan, dikarenakan bahan utama masakan
dagangannya adalah cabai merah keriting dan cabai rawit merah mengalami
kenaikan harga yang cukup tinggi, untuk saat ini, dia memilih menutup sementara
dagangannya.
“Penjualan kita menurun drastis, hanya cukup untuk biaya
operational saja, sementara kebutuhan kita banyak, maka kita tutup untuk
sementara waktu dulu, entah belum tahu kapan kita buka kembali,” ungkapnya.
Iren pemilik sebuah resto di kawasan Km 9, Palembang
mengungkapkan, tingginya harga cabai dalam sebulan terakhir membuat pelaku
usaha kuliner terkena imbasnya. Harga cabai yang melambung tinggi menyentuh
Rp70 ribu per kilogram (kg) mau tidak mau membuat mereka terpaksa menaikkan
harga jual dagangannya.
“Karena harga cabai melonjak tinggi, kita terpaksa menaikkan
harga masakan yang kita jual,” katanya.
Menurutnya, jika melambungnya harga cabai hanya berlangsung
sepekan, kenaikan harga produk masih bisa dibendung. “Ini kan naiknya sudah
sejak akhir tahun lalu meskipun secara bertahap, jadi mau nggak mau kita juga
menyesuaikan dengan biaya produksi,” kilah Iren.
Sedangkan Nina salah satu pedagang pempek di kawasan
Sukarami Palembang menyebutkan, pada dasarnya kenaikan harga cabai rawit yang
juga menjadi bahan utama pembuat cuka pempek tidak begitu berpengaruh pada
usaha kulinernya.
Namun menurut dia, yang sangat berpengaruh itu adalah
kenaikan bahan pokok pembuat pempek seperti daging ikan giling. Maka dari itu
diakuinya, sejak awal 2020 ini dia memilih menaikan harga dari sebelumnya Rp3
ribu per buah menjadi Rp3.500. (dkd)
